Merdeka.com – Sekretaris Jenderal Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Edy Misero menyampaikan, faktor utama penyebab maraknya UMKM sektor gulung tikar lantaran kebijakan work from home (WFH) akibat pandemi Covid-19. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kunjungan karyawan ke mal.
“Kalau soal UMKM kantin karyawan yang banyak tutup itu lebih diakibatkan WFH ya,” ungkapnya saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Kamis (6/10).
Padahal, mayoritas pelanggan UMKM sektor kuliner di pusat perbelanjaan adalah pegawai kantoran. Sehingga, tak sedikit pelaku UMKM yang memutuskan untuk menutup bisnisnya untuk sementara waktu maupun permanen.
“Jadi, penutupan bisnis ini lebih disebabkan pelanggan utama yang didominasi karyawan tidak lagi makan di kantin karyawan mal,” tekannya.
Selain itu, kenaikan harga pangan imbas lonjakan harga BBM subsidi beberapa waktu lalu juga ikut menekan daya beli masyarakat. Alhasil, tak sedikit karyawan kantoran yang memilih untuk membawa bekal dari rumah ketimbang jajan di mal.
“Ada juga ya faktor daya beli,” tekannya.
Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah dapat menjamin ketersediaan bahan pangan dengan harga terjangkau di tengah pelemahan daya beli masyarakat. Hal ini untuk membantu kelangsungan bisnis UMKM di sektor kuliner.
“Harapannya itu ya, sebisa mungkin pemerintah segera mengembalikan daya beli masyarakat melalui harga pangan yang murah,” pungkasnya.
2 dari 2 halaman
Plaza Semanggi Sepi
Antrean mobil, motor, dan angkutan kota, sudah mulai terlihat pada siang itu. Hujan yang mengguyur membuat kendaraan melaju lambat, antrean kendaraan pun memanjang. Namun, keramaian di jalan, tidak berlaku di Plaza Semanggi.
Bangunan bertingkat itu tidak ramai. Hampir setiap lantai, selalu ada tenant kosong. Suasana sunyi langsung menyambut pengunjung saat memasuki lantai underground. Sekeliling kiri atau kanan, rolling door pada tenant tertutup rapat. Hanya 1-3 tenant masih buka, itu pun tenant bidang kuliner.
Sejak pagi hingga siang, tidak banyak masyarakat berkunjung untuk menyantap makan siang di waktu istirahat. Hanya sopir ojek daring saja, dengan jaket identitas mereka berwarna hijau, yang berlalu-lalang menuju ke lantai 3A, mengambil pesanan makanan konsumen.
“Stand by di sini saja kalau siang untuk layanan antar makanan. Sore, baru layanan penumpang,” ucap Fahmi saat hendak menuju lantai 3A Plaza Semanggi, Kamis (6/10).
Fahmi lantas bergegas menuju kedai makanan cepat saji khas Jepang. Antrean saat itu hanya 3 orang. Dan mereka yang mengantre berprofesi sama dengan Fahmi, sopir ojek online. Selang 5-7 menit berlalu, pesanan telah siap. Pria yang berdomisili si Kayuringin, Jakarta Timur itu bergegas mengantar makanan ke konsumen.
“Enggak terlalu jauh sih cuma 2 kilometer,” ujarnya.
Nuansa Plaza Semanggi siang itu seperti wujud nyata dari dampak Pandemi Covid-19 dan infiltrasi teknologi pada peradaban manusia. Tenant selain di bidang makanan-minuman memilih tidak membuka kios. Alih-alih mengundang pengunjung menghabiskan uang mereka di mall, disrupsi teknologi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa biaya besar, sekaligus efisien.
Kesunyian Plaza Semanggi terjadi sejak pandemi Covid-19 pada 2020. Krisis kesehatan saat itu merembet ke ekonomi. Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), banyak gulung tikar, tak ada biaya lagi membayar sewa kios.
(mdk/azz)
Artikel ini bersumber dari : m.merdeka.com.