Seri Suroan: Memperkuat Laku Budi dari Leluhur

Diposting pada

Pietra Widiadi. (ist)

Oleh: Pietra Widiadi*

“Malam Satu Suro”, film horor Indonesia tahun 1988 yang disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra dan dibintangi oleh Suzana, Fendy Pradana, Johny Matakena, dan Nurnaningsih. Dalam hal ini Suzana lebih dikenal daripada bintang yang lainnya.

Film ini begitu kuat memberi kesan horor tentang Malam 1 Suro, yang merupakan malam tahun baru Jawa Islam.

Keangkeran dan kehororan dari kesan yang dibangun dalam film ini, membekas begitu dalam pada khalayak ramai di Negeri ini.

Seolah, malam Suro, adalah malam penuh kesialan. Di Indonesia, bagi orang (baca laku) Jawa, memiliki kalender khusus, disebut penanggalan Jawa.

Penanggalan (atau kalender) Jawa ini, dikenalkan oleh Sultan Agung, raja rezim Kerajaan Mataram Islam yang memerintah pada tahun 1613 -1645.

Pada saat itu, Sultan Agung menciptakan sistem penanggalan baru yang memadukan Kalender Saka dengan Kalender Hijriah, berdasarkan penanggalan Bulan, sehingga perayaan adat di Keraton selaras dengan perayaan hari-hari besar Islam.

Padahal pada era sebelumnya, penanggalan Jawa menggunakan kalender Saka, yang didasarkan pada peredaran Matahari.

Namun, bila dilacak jauh ke belakang, terdapat catatan tentang kalender Jawa yang diperkenalkan oleh empu Hubayun, pada tahun 911 sebelum Masehi.

Pada tahun 50 SM Raja Sri Mahapunggung I atau yang akrab disapa Ki Ajar Padang I melakukan perubahan terhadap huruf atau aksara, serta Sastra Jawa.

Terlepas dari apa yang terjadi kemudian, terdapat sebuah tradisi yang terus berkembang, dan ada yang kemudian mengalami kemandegan, dan pada sisi lain mengalami perkembangan yang banyak mendapatkan pandangan yang beragam dan dianggap sebuah norma sosial yang menyimpang, misalnya seperti Dukun.

Dalam pengertian yang umum, ada sebuah pandangan penjelasan yang cukup menggambarkan secara rasional.

Baca Juga :   Memahami Matematika Atoni Meto | Koran NTT

Pada seri ini, atau seri 1, penulis akan memberikan pengantar, sebelum masuk pada seri berikutnya.

Dukun merupakan istilah khas Nusantara untuk menyebut seseorang yang mempunyai profesi didasarkan pada keahlian tertentu yang tidak melulu terkait dengan hal-hal intuitif dan psikis.

Atau secara euphemism lalu disebut dengan “orang pintar”. Misalnya: Dukun bayi, Dukun calak/sunat, Dukun susuk, Dukun pijit, Dukun siwer, Dukun jampi, Dukun japa, Dukun pengasihan, Dukun penglarisan, Dukun santet, Dukun ramal, dan lain-lain.

Tapi kenapa para praktisinya sering kali tak mau disebut Dukun? Mereka menggunakan istilah-istilah lain yang rata-rata berasal dari bahasa asing: hipnoterapis, shaman, spiritualis, tabib, paranormal, spiritual counselor, natural healing therapist, dan istilah-istilah lainnya. Pada kenyataannya, mereka adalah Dukun.

Kalaupun mereka membentuk komunitas, namanyapun menjadi merujuk pada istilah western, misalnya: Ikatan Paranormal Indonesia atau Spiritualis Indonesia.

Dan tidak memakai nama, seperti Ikatan Dukun Indonesia atau Persatuan Dukun Indonesia. Kalaupun mereka melakukan praktek pengobatan (Sansekerta/Jawa disebut husada), maka menulisnya juga tidak “Di sini Buka Praktek Perdukunan, dan juga identitas dalam KTP, pekerjaannya tidak akan ditulis dukun, seperti halnya dokter.

Meski pada waktu-waktu tertentu, sebagain masyarakat masih mengandalkan jasa mereka, seperti penghitungan atau penanggalan baik, atau dukun (pawang) tolak hujan. Bahkan ada ujaran yang umum di masyarakat, seperti “cinta ditolak, dukun bertindak”.

Pada hal di banyak tempat di Indonesia, profesi Dukun masih ditemukan dan sah berdasarkan norma sosial.

Seperti di Bali dikenal dengan sebutan Balian, di kalangan Kejawen, ada juga yang menyebut Walyan/Waluyo, yaitu praktisi penyembuhan yang merupakan ahli ramuan obat-obatan tradisional yang berkaitan dengan derajat kesehatan (raga), atau disebut dengan husada.

Baca Juga :   Media Gathering Bakti Kominfo: 50 Media Nasional Diajak ke Desa Sukarara (1)

Atau di suku-suku Dayak di Kalimantan atau di Kepulauan lain di NTT misalnya. Dengan beragam istilah.

Namun demikian, kesan negatif melekat dengan kuat bahwa dalam pandangan tertentu dianggap tidak baik.

Pengertian Dukun, menjadi bermakna yang merusak, apalagi kemudian muncul seperti kasus perseteruan antaran Pesulap Merah dan dan Gus Samsudin.

Jadi ini, seperti kita menuding ada oknum yang menghancurkan citra Dukun. Mereka yang menjalankan profesinya dengan tidak memiliki integritas keahlian, bahkan cenderung menyalahgunakannya demi kepentingan dan keuntungan pribadi.

Ini menimbulkan stigma buruk bahwa Dukun memperburuk kearifan lokal, yaitu local genius yang merupakan local wisdom.

*) Pietra Widiadi (Founder Yayasan DIAL dan Inisiator Komunitas Jawi Kawi Malang).
*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Artikel ini bersumber dari : bacamalang.com.

  • Baca Artikel Menarik Lainnya dari Travelling.Web.id di Google News

  • Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *